SHAF LURUS RAPAT (SANGGAHAN YANG ENGGAN MENEMPELKAN MATA KAKI DALAM SHAF SHALAT)
Menempelkan Mata Kaki
Benar apa yang dikatakan oleh Syaikh Al-Albany bahwa menempelkan kaki, bahu dan lutut merupakan sunnah Nabi.
Adapun beralasan dengan ketidakmampuan dan keengganan sebagian orang melaksanakannya, bukanlah hujjah dalam menggugurkan sunnah Nabi -Shallallahu ‘alaihi wasallam-, sebab kenyataannya cara tersebut bisa dikerjakan.
Adapun orang yang enggan karena merasa sempit dadanya ketika ditempeli kakinya oleh kaki saudaranya, maka tak bisa dijadikan hujjah.
Jika ada sebagian orang tak mampu menempelkan kakinya karena pada kakinya ada sifat kurang sempurna, maka bertaqwalah semampunya.
Artinya, berusaha lakukan semampunya dan jika dia tetap tidak bisa, maka dia telah mendapat udzur.
Sekali lagi kami katakan bahwa meluruskan dan merapatkan shaf merupakan sunnah (baca: petunjuk) Nabi -Shallallahu ‘alaihi wasallam- kepada para sahabat dan ummat beliau yang telah disaksikan oleh Anas bin Malik radhiallahu Ta’ala ‘anhu.
Bahkan bukan hanya beliau (Anas), bahkan cara ini disaksikan oleh semua sahabat yang sholat di belakang beliau.
Coba dengarkan dengan baik penuturan seorang sahabat yang mulia yang bernama Nu’man bin Basyir -radhiallahu Ta’ala ‘anhu-, beliau menuturkan realita yang terjadi di zaman Nabi -Shallallahu ‘alaihi wasallam-,
“Aku melihat seorang laki-laki menempelkan bahunya dengan bahu temannya, lututnya dengan lutut temannya, dan mata kakinya dengan mata kaki temannya”.
HR.Abu Dawud (662), Ibnu Hibban, Ahmad (4/276), dan Ad-Daulaby dalam Al-Kuna
-------------------------------
-------------------------------
Yang jadi patokan beribadah adalah petunjuk Nabi dan para sahabatnya, jika pada Nabi kaifiyah tata caranya tidak dijelaakan, maka yang dapat menjelaskan adalah para sahabat yang mana sahabat ini yang paling tau apa yang menjadi maksud dari petunjuk Nabi salallahu 'alaihi wasallam.
Maka cukup sahabat Abu Nu'man menuturkan dapat menjadi dalil penjelasan kaifiyat bagaimana cara bermakmum yang diinginkan Rasulullah salallahu 'alaihi wasallam.
Jadi sangat bisa dipahami seperti perkataan diatas, bahwa kebiasaan masyarakat sekarang bukan berarti dapat menggugurkan apa yang mnjadi tuntunan untuk merapatkan meluruskan shaf.
Jika dikatakan tidak akan ada yang bisa melakukan mempraktekkan sunnah ini, maka hanya pemikiran yang sempit yang mengatakan tidak ada yang dapat mempraktekkan lurusnya shaf seperti apa yang ada pada sunnah (petunjuk) yang Mulia.
Ya memang mungkin benar, sebagian besar masyarakat Indonesia sangat jarang yang dapat melakukan, tapi adakah tau disana negara lain apakah sama dengan di Indonesia, bahwa tidak dapat melakukan pelurusan shaf?
Jawabannya tidak, masih ada dan mungkin banyak yang dapat melakukan, hanya saja wawasan lah yang kurang menjangkaunya.
Maka, jangan katakan, tidak mungkin ada yang bisa melakulan, melainkan mari kita usahakan agar sesuai dengan apa yang menjadi sunnah Nabi Salallahu 'alaihi wasallam...
Jika dikatakan menempelkan mata kaki bukan sunnah, bukan petunjuk untuk melakukan perintah Nabi salallahu 'alaihi wasallam. Maka bagaiamana cara merealisasikan untuk merapatkan shaf tersebut.
Cara terbaik mana yang selain dari pemahaman penerapan Sunnah yang selain dari generasi sahabat.
Tidak ada yang lebih baik pemahaman selain pemahaman sahabat terhadap Agama.
Kita tahu demikian itu memang tidak ada perintah langsung mnempelkan dari Nabi salallahu 'alaihiwasallam. Namun, untuk melakukan perintah meluruskannya, hanya akan terealisasi dengan tata cara yang sudah diterapkan dijaman Nabi. Dengan cara apa, dengan cara melihat atsar2 diatas.
Tanpa petunjuk dari para Sahabat, akan dari siapa lagi pemahaman yang lebih baik dari mereka?
Lantas jika bukan dikatakan bukan sunnah, bukankah ada hadits dari Rasulullah bahwa kita diminta untuk mencontoh para sahabat.
Lantas sampaikah kaedah dalam agama, hukum perantara/
wasilah sama dengan hukum tujuannya...
Penyelisihan, mncari celah dari pemahaman para sahabat, sungguh akan menjauhkan diri dari pemahaman salafushshalih. Kita juga sudah tau kabar bab ini, pembahasan keterangan dari madzhab.
Dari keterangan Syaikh Nashirudin Al Albani
Syaikh Nashiruddin al-Albani dalam kitabnya, Silsilat al-Ahadits as-Shahihah, hal. 6/77 menuliskan
: ﻭﻗﺪ ﺃﻧﻜﺮ ﺑﻌﺾ ﺍﻟﻜﺎﺗﺒﻴﻦ ﻓﻲ ﺍﻟﻌﺼﺮ ﺍﻟﺤﺎﺿﺮ ﻫﺬﺍ ﺍﻹﻟﺰﺍﻕ , ﻭﺯﻋﻢ ﺃﻧﻪ ﻫﻴﺌﺔ ﺯﺍﺋﺪﺓ ﻋﻠﻰ ﺍﻟﻮﺍﺭﺩ , ﻓﻴﻬﺎ ﺇﻳﻐﺎﻝ ﻓﻲ ﺗﻄﺒﻴﻖ ﺍﻟﺴﻨﺔ ! ﻭﺯﻋﻢ ﺃﻥ ﺍﻟﻤﺮﺍﺩ ﺑﺎﻹﻟﺰﺍﻕ ﺍﻟﺤﺚ ﻋﻠﻰ ﺳﺪ ﺍﻟﺨﻠﻞ ﻻ ﺣﻘﻴﻘﺔ ﺍﻹﻟﺰﺍﻕ , ﻭﻫﺬﺍ ﺗﻌﻄﻴﻞ ﻟﻸﺣﻜﺎﻡ ﺍﻟﻌﻤﻠﻴﺔ , ﻳﺸﺒﻪ ﺗﻤﺎﻣﺎ ﺗﻌﻄﻴﻞ ﺍﻟﺼﻔﺎﺕ ﺍﻹﻟﻬﻴﺔ , ﺑﻞ ﻫﺬﺍ ﺃﺳﻮﺃ ﻣﻨﻪ
Sebagian penulis zaman ini telah mengingkari adanya ilzaq (menempelkan mata kaki, dengkul, bahu) ini, hal ini bisa dikatakan menjauhkan dari menerapkan sunnah. Dia menyangka bahwa yang dimaksud dengan “ilzaq” adalah anjuran untuk merapatkan barisan saja, bukan benar-benar menempel. Hal tersebut merupakan ta’thil (pengingkaran) terhadap hukum-hukum yang bersifat alamiyyah, persis sebagaimana ta’thil (pengingkaran) dalam sifat Ilahiyyah. Bahkan lebih jelek dari itu.
Syaijh Nashiruddin al-Albani secara tegas memandang bahwa yang dimaksud ilzaq dalam hadits adalah benar-benar menempel. Artinya, sesama mata kaki, sesama dengkul dan sesama bahu harus benar nempel dengan orang di sampingnya. Dan itulah yang dia katakan sebagai sunnah Nabi.
Wallahu musta'an.