RAJAB 8: PENDAPAT ULAMA TENTANG BULAN RAJAB
Pendapat Ulama tentang Bulan Rajab
Al-Ustadz Muhammad Umar As-Sewed
Bulan Rajab adalah bulan yang dimuliakan oleh orang-orang Arab sejak sebelum datangnya Islam. Mereka meletakkan senjata dan menghindari perang. Bahkan ketika seorang bertemu dengan pembunuh bapaknya sekalipun, dia tidak mau membalasnya, jika itu terjadi di bulan Rajab.
Walaupun dikatakan bulan Rajab termasuk salah satu bulan haram, maka maknanya adalah tidak bolehnya berperang padanya, namun bukan berarti disunnahkan untuk menghormatinya dengan puasa, shalat raghaib, dzikir-dzikir atau perayaan-perayaan tertentu.
Puasa pada Bulan Rajab
Adapun puasa pada bulan Rajab adalah sesuatu yang tidak pernah dicontohkan dan tidak dianjurkan. Bahkan Al-Hafizh Ibnu Hajar memiliki kitab khusus tentang masalah bulan Rajab yang berjudul Tabyin al-‘Ajab bima Warada fi Fadhli Rajab (Penjelasan keanehan-keanehan apa yang diriwayatkan tentang keutamaan bulan Rajab).
Di antaranya beliau berkata tidak diriwayatkan satu riwayat pun yang shahih tentang keutamaan bulan Rajab dan tidak pula puasa padanya, tidak pula shalat pada malam tertentunya. Tidak diriwayatkan satu hadits pun yang shahih yang bisa dipakai untuk hujjah.
Telah mendahului aku dengan ucapan seperti ini Al-Hafizh Imam Abu Isma’il Al-Harawi demikian pula kami mendapatkan dari selain beliau.
Imam Abu Syamah rahimahullah dalam kitab Al-Ba’its berkata bahwa Abu Bakr Ash-Shiddiq radhiallahu’anhu mengingkari keluarganya yang berpuasa di bulan Rajab. Bahkan ‘Umar bin Khaththab radhiallahu’anhu memukul tangan orang-orang yang berpuasa di bulan Rajab seraya berkata: “Ini adalah bulan yang dibesar-besarkan oleh orang-orang jahiliyyah.”
Riwayat dari Abu Bakr Ash-Shiddiq disebutkan secara lengkap oleh Ath-Thurthusi rahimahullah dalam kitabnya sebagai berikut:
Diriwayatkan dari Abu Bakr Ash-Shiddiq, bahwa dia pernah masuk menemui istrinya dalam keadaan melakukan persiapan-persiapan menyambut bulan Rajab. Maka beliau radhiallahu’anhu berkata: “Apa ini?” Ia menjawab: “Bulan Rajab, kita akan berpuasa padanya.” Abu Bakar radhiallahu’anhu berkata: “Apakah engkau akan menjadikan bulan Rajab sebagai bulan Ramadhan?!”
Adapun tentang ‘Umar bin Khaththab, diriwayatkan pula oleh Al-Faqihi dalam kitab Makkah dengan sanadnya sampai kepada Harasyah ibnu Hurr, ia berkata: “Aku melihat ‘Umar bin Khaththab radhiallahu’anhu memukul tangan-tangan manusia pada bulan Rajab, hingga mereka mau mengambil makanan seraya berkata: “Makanlah! Sesungguhnya bulan Rajab diagungkan oleh orang-orang Jahiliyyah.”
Imam Nawawi rahimahullah berkata: “Tidak tsabit riwayat tentang puasa pada bulan Rajab. Tidak ada perintah dan tidak pula ada larangan….”
Diriwayatkan oleh Abu Muhammad Ibnu Abi Yazid berkata: “Ibnu ‘Abbas radhiallahu’anhuma tidak suka puasa pada bulan Rajab secara keseluruhan. Karena beliau khawatir orang-orang bodoh akan mengganggap itu suatu perintah yang disyariatkan.” (Tabyinul ‘Ajab, 65-66)
Dalam riwayat lain, Ibnu ‘Abbas radhiallahu’anhuma berkata: “Jangan kalian jadikan bulan Rajab sebagai hari besar…!” (Diriwayatkan oleh Ibnu Hajar dalam Tabyinul ‘Ajab dan beliau mengatakan: “Hadits ini diriwayatkan dengan sanad yang tidak mengapa.”)
Ath-Thurthusy rahimahullah berkata: “Riwayat-riwayat ini menunjukkan bahwa apa yang ada pada manusia dalam pengagungan bulan Rajab itu adalah sisa-sisa kebiasaan jahiliyyah.”
Berkata Ath-Thurthusy bahwasanya Ibnu ‘Umar radhiallahu’anhuma tidak suka berpuasa pada bulan Rajab. Bisa jadi karena khawatir orang-orang bodoh mengira bahwa itu diperintahkan atau khawatir orang-orang meyakini bahwa itu adalah sunnah khusus di bulan Rajab. Maka beredarlah di masyarakat bahwa Ibnu ‘Umar radhiallahu’anhuma mengharamkan puasa Rajab.”
Diriwayatkan oleh Muslim dalam Shahihnya:
ﺃَﻥَّ ﺃَﺳْﻤَﺎﺀَ ﺃَﺭْﺳَﻠَﺖْ ﺇِﻟَﻰ ﺍﺑْﻦِ ﻋُﻤَﺮَ : ﺑَﻠَﻐَﻨِﻲ ﺃَﻧَّﻚَ ﺗُﺤَﺮِّﻡُ ﺻَﻮْﻡَ ﺭَﺟَﺐٍ ! ﻓَﻘَﺎﻝَ ﻟَﻬَﺎ ﺍﺑْﻦُ ﻋُﻤَﺮَ : ﻓَﻜَﻴْﻒَ ﺑِﻤَﻦْ ﻳَﺼُﻮْﻡُ ﺍﻷَﺑَﺪَ؟
“Sesungguhnya Asma’ mengutus seseorang kepada Ibnu ‘Umar dengan perkataan: ‘Apakah benar telah sampai kepadaku bahwasanya engkau mengharamkan puasa pada bulan Rajab?’ Ibnu ‘Umar berkata kepadanya: ‘Bagaimana jika ada orang yang berpuasa selamanya?’”
Yakni Ibnu ‘Umar radhiallahu’anhuma bukan mengharamkan puasa pada bulan Rajab, tapi mengharamkan puasa terus-menerus atau 3 bulan berturut-turut (Rajab, Sya’ban dan Ramadhan) sebagaimana diucapkan oleh para ulama seperti Abu Syamah sebagai berikut:
Imam Abu Syamah rahimahullah berkata: “Nabi shallallahu’alaihi wasallam tidak pernah berpuasa tiga bulan berturut (Rajab, Sya’ban dan Ramadhan) seperti yang dilakukan oleh sebagian manusia bahkan beliau tidak pernah berpuasa bulan Rajab sama sekali dan tidak menganjurkannya. Bahkan diriwayatkan beliau shallallahu’alaihi wasallam melarang puasa pada bulan tersebut sebagaimana diriwayatkan oleh Ibnu Majah.
Hadits-hadits Dha’if tentang Bulan Rajab
Adapun hadits yang berbunyi:
ﺇِﻥَّ ﻓِﻲ ﺍﻟْﺠَﻨَّﺔِ ﻧَﻬْﺮًﺍ ﻳُﻘَﺎﻝَ ﻟَﻪُ ﺭَﺟَﺐٌ، ﻣَﺎﺅُﻩُ ﺃَﺷَﺪُّ ﺑَﻴَﺎﺿًﺎ ﻣِﻦَ ﺍﻟﻠَّﺒَﻦِ ﻭَﺃَﺣْﻠﻰ ﻣِﻦَ ﺍﻟْﻌَﺴْﻞِ، ﻣَﻦْ ﺻَﺎﻡَ ﻳَﻮْﻣَﺎ ﻣِﻦْ ﺭَﺟَﺐٍ ﺳَﻘَﺎﻩُ ﺍﻟﻠﻪُ ﻣِﻦْ ﺫَﻟِﻚَ ﺍﻟﻨَّﻬْﺮِ .
“Sesungguhnya di surga ada sebuah sungai yang dinamakan Rajab, airnya lebih putih dari susu dan lebih manis dari madu. Barangsiapa yang berpuasa sehari dari bulan Rajab, Allah akan memberikan minuman dari sungai tersebut.”
Ibnul Jauzi rahimahullah dalam kitabnya Al-Waahiyaat, 912 menyebutkan bahwa hadits ini tidak shahih. Berkata pula Adz-Dzahabi rahimahullah dalam Mizaanul I’tidal I, 4/189 bahwa ini adalah hadits batil. Dan Ibnu Hibban memasukkan hadit ini dalam Al-Majruuhin (rawi-rawi yang lemah), 2/238. Demikian pula Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah dalam Tabyin Al-‘Ajab, hal. 25-30, dan oleh Abu Syamah rahimahullah dalam Al-Ba’its.
Hadits lain yang beredar tentang bulan Rajab adalah hadits yang berbunyi:
ﻣَﻦْ ﺻَﺎﻡَ ﺛَﻼَﺛَﺔَ ﺃَﻳَّﺎﻡٍ ﻣِﻦْ ﺷَﻬْﺮِ ﺣَﺮَﺍﻡٍ ﺍﻟْﺨَﻤِﻴﺲ ﻭَﺍﻟْﺠُﻤْﻌَﺔ ﻭَﺍﻟﺴَّﺒْﺖ ﻛَﺒَﺐَ ﺍﻟﻠﻪ ﻟَﻪُ ﻋِﺒَﺎﺩَﺓً ﺗِﺴْﻌَﻤﺎﺋَﺔِ ﺳَﻨَﺔٍ – ﻭﻓﻲ ﻟﻔﻆ : ﺳِﺘِّﻴْﺖَ ﺳَﻨَﺔٍ .
“Barangsiapa yang berpuasa 3 hari di bulan haram: Kamis, Jum’at dan Sabtu, Allah catat baginya ibadah 900 tahun – dalam riwayat lain: 70 tahun.”
Imam Bukhari rahimahullah menyebutkan hampir seluruh jalan-jalan hadits ini kemudian berkata: “Kesimpulannya hadits ini batil secara sanad dan matannya.”
Demikian pula hadits yang berbunyi:
ﺻَﻮْﻡُ ﺃَﻭَﻝِ ﻳَﻮْﻡٍ ﻣِﻦْ ﺭَﺟَﺐٍ ﻛَﻔَّﺎﺭَﺓُ ﺛَﻼَﺙَ ﺳِﻨِﻴْﻦَ ﻭَﺍﻟﺜَّﺎﻧِﻲ ﻛَﻔَﺎﺭَﺓُ ﺳَﻨَﺘَﻴْﻦِ ﻭَﺍﻟﺜَّﺎﻟِﺚُ ﻛَﻔَّﺎﺭَﺓُ ﺳَﻨَﺔٍ ﺛُﻢَّ ﻛُﻞَّ ﻳَﻮْﻡٍ ﺷَﻬْﺮًﺍ .
“Puasa di awal bulan Rajab menghapuskan dosa-dosa 3 tahun. Hari yang kedua menghapuskan dosa 2 tahun, hari yang ketiga menghapuskan dosa 1 tahun, kemudian setiap harinya puasa pada bulan Rajab menghapuskan dosa sebulan.”
Hadits ini disebutkan oleh Al-Khallal dalam Al-Jami’, kemudian dia mendhaifkannya. (Didhaifkan pula oleh Syaikh Al-Albani dalam Dha’if Jami’ Ash-Shaghir, hadits no. 3500. -pent.)
Kemudian disebutkan pula hadits lain tentang bulan Rajab:
ﺭَﺟَﺐٌ ﺷَﻬْﺮُ ﺍﻟﻠﻪِ ﻭَﺷَﻌْﺒَﺎﻥٌ ﺷَﻬْﺮِﻱ ﻭَﺭَﻣَﻀَﺎﻥٌ ﺷَﻬْﺮُ ﺃُﻣَّﺘِﻰ .
“Rajab adalah bulan Allah, Sya’ban adalah bulanku, sedangkan Ramadhan adalah bulan umatku.”
Hadits ini diisyaratkan oleh penulis kitab Al-Jami’ sebagai hadits yang mursalun dha’if. (Didhaifkan pula oleh Syaikh Al-Albani dalam Dha’if Jami’ Ash-Shaghir, hadits no. 3094. -pent.)
Demikian pula hadits yang berbunyi:
ﻓَﻀْﻞُ ﺷَﻬْﺮِ ﺭَﺟَﺐٍ ﻋَﻠَﻰ ﺳَﺎﺋِﺮِ ﺍﻟﺸُّﻬُﻮْﺭِ ﻛَﻔَﻀْﻞِ ﺍﻟْﻘُﺮْﺁﻥِ ﻋَﻠَﻰ ﺳَﺎﺋِﺮِ ﺍﻟْﻜَﻼَﻡِ .
“Keutamaan bulan Rajab di atas bulan-bulan lain seperti keutamaan Al-Qur’aan di atas seluruh ucapan-ucapan lain.”
‘Ali Al-Qari’ rahimahullah mengatakan bahwasanya Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-Asqalani berkata: “Hadits ini palsu.”
Shalat Raghaib
Berkata Muhammad ‘Abdus Salam As-Suqairi: Shalat raghaib biasanya dikerjakan oleh manusia sebanyak 12 raka’at antara Maghrib dan ‘Isya’ pada hari Kamis pertama di bulan Rajab. Pada shalat tersebut dikhususkan bacaan-bacaan dan tasbih tertentu yang berbeda dengan shalat-shalat lainnya.
Pensyarah kitab Al-Ihya’ berkata bahwasanya Abu Muhammad Al-‘Izz ibnu ‘Abdis Salam berkata: “Tidak ada di Baitul Maqdis satu shalat khusus pun di bulan Rajab, tidak pula pada nishfu Sya’baan (pertengahan bulan Sya’ban). Perkara tersebut terjadi pada tahun 448H ketika datang ke negeri mereka seseorang dari Nablus yang dipanggil dengan nama Ibnul Hay. Ia memiliki bacaan yang bagus, kemudian berdiri untuk shalat di Masjidil Aqsha pada malam nishfu Sya’baan, lalu diikuti oleh seseorang, kemudian orang kedua, ketiga, keempat hingga ia tidak mengakhiri shalatnya kecuali sudah banyak jama’ah di belakangnya.
Kemudian pada tahun berikutnya shalatlah bersama orang tersebut banyak manusia. Dan terkenallah di masjid-masjid dan rumah-rumah kaum muslimin shalat tersebut, seakan-akan sunnah sampai hari ini.
Al-Hafizh Al-Iraqi rahimahullah berkata: bahwa diriwayatkan oleh Razin dalam kitabnya tentang shalat raghaib dan itu adalah hadits palsu.
Ibnul Jauzi rahimahullah berkata: “Hadits itu maudhu’, dipalsukan atas nama Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam. Para ulama telah menuduh demikian kepada Ibnu Jahdham dan menisbatkannya kepada kedustaan.”
Al-Hafizh ‘Abdul Wahhab rahimahullah berkata: “Rawi-rawi hadits tersebut tidak dikenal (majhul). Aku telah memeriksanya dalam semua kitab-kitab dan aku tidak mendapati mereka.”
Al-Hafizh As-Suyuti juga membenarkan ucapan di atas dan menukil ucapan Imam Nawawi rahimahullah bahwa beliau berkata: “Shalat ini adalah bid’ah yang mungkar dan jelek. Jangan engkau tertipu dengan disebutkannya shalat tersebut dalam kitab Quutul Quluub dan kitab Al-Ihya’.
Imam Ath-Thurthusi rahimahullah menukil dari Al-Burhan Al-Halabi tentang maudhu’nya riwayat tentang shalat tersebut.
Demikian pula dikatakan dalam kitab Al-Hishnul Hashin dan juga ucapan pensyarahnya yaitu Imam Asy-Syaukani.
Bahkan Imam Abu Syamah rahimahullah memiliki kitab yang diberi nama Al-Ba’its ‘ala Ingkaril Bida’ wal Hawadits. Ia menjelaskan di dalamnya tentang batilnya riwayat-riwayat tentang shalat raghaib.
Demikian pula pendapat Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah dan Al-Majd Al-La’wa.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata: “Shalat malam 27 Rajab dan sejenisnya tidak disyari’atkan dengan kesepakatan para imam-imam kaum muslimin sebagaimana disebutkan oleh para ulama yang diakui keilmuannya. Tidaklah muncul kebid’ahan tersebut kecuali dari seorang yang bodoh atau mubtadi’.”
Muhammad ‘Abdus Salam As-Suqairi rahimahullah berkata: “Ketahuilah bahwa hadits tentang shalat khusus di awal Rajab, pertengahan atau di akhirnya tidak bisa diterima, tidak bisa diamalkan dan tidak perlu menengok kepadanya. (Karena seluruhnya lemah dan palsu -pent.)
Perayaan Isra’ Mi’raj
Muhammad ‘Abdus Salam As-Suqairi rahimahullah berkata: “Pembacaan kisah Isra’ Mi’raj, perayaan Isra’ Mi’raj di malam tanggal 27 Rajab adalah bid’ah. Demikian pula mengkhususkan dzikir atau ibadah tertentu padanya adalah bid’ah!”
Ia juga berkata: “Kalau saja perbuatan itu adalah kebaikan, niscaya mereka (para shahabat dan salafush shalih) lebih dahulu melakukannya daripada kita. Sedangkan tentang peristiwa Isra’ Mi’raj, tidak diriwayatkan satu dalil pun yang menjelaskan harinya. Tidak pula ada riwayat yang menjelaskan bulannya. Maka masalah waktu berangkat dan pulangnya Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam ketika Isra’ Mi’raj tidak tsabit. Tanggal tersebut hanyalah kedustaan yang dibuat-buat oleh manusia.
Wallahu a’lam.
Catatan: Perkataan-perkataan para ulama di atas dinukil dari kitab Al-Hawaadits wa Bida’ oleh Imam Abu Bakr Muhammad Ibnul Walid Ath-Thurthusi, hal. 143-144 dan kitab As-Sunan wal Mubtada’at oleh Muhammad ‘Abdus Salam Asy-Syuqairi, hal. 140-144
[Dinukil dari Risalah Dakwah Manhaj Salaf Edisi 113/Th. III/09 Rajab 1427H/04 Agustus 2006M, judul: Pendapat Ulama tentang Bulan Rajab, hal. 1-4. Diterbitkan oleh Yayasan Dhiya’us Sunnah, Cirebon]