Madzi - Wadi - Mani - Keputihan
MENGENALI CAIRAN
YANG KELUAR DARI FARJIMU
(Madzi - Wadi - Mani - Keputihan)
----------------------------------------------------
Kenalilah 4 Cairan Yang Keluar Dari Farjimu
Banyak dari kita yang belum paham dengan benar tentang beberapa hal yang terkait dengan cairan yang keluar dari tubuhnya, Entah karena alasan malu untuk menanyakannya atau hal lain.
Perkara ini harus dipelajari dengan betul oleh muslimah yang sudah baligh, Karena berhubungan erat dengan masalah najis dan kesucian yang berhubungan dengan ibadah kita seperti shalat.
Kaum wanita diciptakan dengan banyak keunikan yang tidak dimiliki oleh kaum Laki-laki. Antara lain mengalami keluarnya darah haid, nifas dan istihadhah dari area paling sensitif yang dimilikinya. Selain darah, ada pula 4 cairan lain yang keluar dari area yang sama yang akan kita bahas di bawah ini.
● Pertama : Madzi
Cairan ini encer dan berwarna putih, Keluar karena dorongan syahwat dan tidak menyebabkan tubuh menjadi lemas. Umumnya tidak terasa saat keluar. Cairan ini lebih byk dimiliki kaum wanita daripada laki-laki. Umumnya, Madzi keluar secara normal saat bercumbu dengan suami atau saat ada 'hasrat' yang tinggi untuk melakukan hubungan.
Menurut kesepakatan para Ulama', Madzi hukumnya najis. Membatalkan wudhu dan cairan ini wajib dibersihkan jika mengenai badan / pakaian ketika mau shalat.
Hal ini berdasarkan dalil dari Ali Radhyallahu ‘anhu :
“Aku adalah laki-laki yang mudah keluar madzi. Dan aku malu untuk bertanya kepada Nabi karena istriku adalah putri beliau. Maka aku mengutus Al Miqdad bin Al Aswad untuk bertanya kepada Nabi (tentang status madzi ini). Nabi pun menjawab :
ﻳَﻐْﺴِﻞُ ﺫَﻛَﺮَﻩُ ﻭَﻳَﺘَﻮَﺿَّﺄُ
“Hendaknya dia mencuci kemaluannya dan berwudhu.” (HR. Muslim)
● Kedua : Wadi
Cairan yang berwarna putih ini biasanya keluar setelah buang air kecil (cairan yang mengiringi air kencing) cairan ini keluar setelah keluarnya air kencing dan keluarnya tanpa merasakan kenikmatan dan dalam jumlah yang sedikit.
Hukumnya sama seperti hukum air kencing, yaitu najis. Dan apa saja yang terkena cairan ini maka hukumnya juga najis dan terkadang ada juga seseorang yang selalu merasakan ingin buang air kecil maka yang dia keluarkan tersebut adalah Wadi (sering kita sebut dengan beseran atau anyang-anyangen).
Jika mengeluarkan cairan ini, maka membatalkan wudhu namun tidak mengharuskan mandi sebagaimana hukum air kencing.
● Ketiga : Mani
Cairan putih yang keluar ketika syahwat sudah memuncak, Jika mengeluarkannya akan terasa nikmat dan kemudian badan jadi lemas.
Namun, Umumnya Mani yang keluar dari wanita akan berwarna kuning sebagaimana disebutkan dalam hadist, :
“Dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
“Air mani laki-laki putih, kental dan air mani wanita kuning, encer, maka yang mana saja yang mendahului maka anaknya akan menyerupainya.”
(Hadist riwayat Muslim, Ahmad, An-Nasai, Ibnu Majah dan Hakim).
Pendapat yang kuat mengatakan bahwa air mani tidaklah najis walaupun ada sebagian kecil ulama yang menganggapnya najis. Jika telah mengeluarkan cairan mani ini, diwajibkan untuk mandi besar. Baik sedikit maupun banyak (yang dikeluarkan).
Hal ini didasarkan pada hadits shahih riwayat Bukhari dan Muslim bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam suatu ketika menjawab pertanyaan seorang wanita tentang hukum mandi bagi wanita yang mimpi basah. Jika wanita tersebut melihat air (mani) maka wajib mandi.
ﺃﻥ ﺃﻡ ﺳﻠﻴﻢ ﻗﺎﻟﺖ : ﻳﺎ ﺭﺳﻮﻝ ﺍﻟﻠﻪ، ﺇﻥ ﺍﻟﻠﻪ ﻻ ﻳﺴﺘﺤﻴﻲ ﻣﻦ ﺍﻟﺤﻖ، ﻓﻬﻞ ﻋﻠﻰ ﺍﻟﻤﺮﺃﺓ ﺍﻟﻐﺴﻞ ﺇﺫﺍ ﺍﺣﺘﻠﻤﺖ؟ ﻗﺎﻝ : ﻧﻌﻢ، ﺇﺫﺍ ﺭﺃﺕ ﺍﻟﻤﺎﺀ، ﻓﻀﺤﻜﺖ ﺃﻡ ﺳﻠﻤﺔ
“Bahwasanya Ummu Salamah bertanya,
’Wahai Rasulullah sesungguhnya Allah tidak malu tentang kebenaran. Apakah seorang wanita wajib mandi jika mimpi basah...?’
Nabi shallallahu’alaihi wasallam menjawab,
“Benar. Jika dia melihat air (mani).”
Dan Ummu Salamah pun tertawa.
● Keputihan
Cairan yang keluar dari farji wanita tanpa adanya sebab. Para ulama' fiqh menyebut cairan ini dengan nama 'Ruthubah'. Mereka berbeda pendapat apakah cairan ini najis ataukah suci?
Dibawah ini adalah pendapat para ulama tentang Keputihan (Ruthubah)
1. Madzhab Hanafi
Abu Bakr Ibnu ‘ali Az-Zabidi, Salah satu ulama mazhab Al-Hanafiyah di dalam kitabnya Al-jauharah A-nirah menuliskan sebagai berikut :
ﻭَﺃَﻣَّﺎ ﺭُﻃُﻮﺑَﺔُ ﺍﻟْﻔَﺮْﺝِ ﻓَﻬِﻲَ ﻃَﺎﻫِﺮَﺓٌ ﻋِﻨْﺪَ ﺃَﺑِﻲ ﺣَﻨِﻴﻔَﺔَ ﻛَﺴَﺎﺋِﺮِ ﺭُﻃُﻮﺑَﺎﺕِ ﺍﻟْﺒَﺪَﻥِ
Imam Abu Hanifah berpendapat, Adapun ruthubah yang keluar dari farji perempuan maka hukumnya suci, Sebagaimana ruthubah yang keluar dari anggota badan lainnya. [1]
2. Madzhab Maliki
Ad-Dimyathi, Seorang ulama dari madzhab Al-Malikiyah dalam kitab As-syamil fi Fiqhi Imam Malik menuliskan sebagai berikut :
ﻭﻣﺎ ﺧﺮﺝ ﻣﻦ ﺍﻟﺴﺒﻴﻠﻴﻦ ﻣِﻦ ﺭﻃﻮﺑﺔٍ ﻧﺠﺲٌ
Dan apapun yang keluar dari dua jalan (jalan depan dan belakang) maka hukumnya najis.[2]
Al-Qarafi, ulama lainnya dari mazhab Al-Malikiyah di dalam kitab Adz-Dzakhirah menuliskan sebagai berikut:
ﻭَﻛُﻞُّ ﺭُﻃُﻮﺑَﺔٍ ﺃَﻭْ ﺑَﻠَﻞٍ ﻳَﺨْﺮُﺝُ ﻣِﻦَ ﺍﻟﺴَّﺒِﻴﻠَﻴْﻦِ ﻓَﻬُﻮَ ﻧَﺠِﺲٌ
Dan segala sesuatu baik ruthubah atau cairan yang keluar dari dua jalan (depan dan belakang) maka hukumnya najis. [3]
Begitu pula Al-Mazuri, seorang ulama yang juga dari mazhab Al-Malikiyah di dalam kitab Syarhu Talqin menuliskan sebagai berikut :
ﻓﺈﻥ ﻣﻦ ﺃﺻﺤﺎﺑﻨﺎ ﻣﻦ ﺫﻫﺐ ﺇﻟﻰ ﺃﻥ ﺑﻠﺔ ﻓﺮﺝ ﺍﻟﻤﺮﺃﺓ ﻧﺠﺴﺔ
Banyak dari ulama yang ada dalam madzhab kami (Al-Malikiyyah) cenderung berpendapat bahwa cairan lembab yang keluar dari farji wanita adalah najis. [4]
3. Madzhab Syafi’i
An-Nawawi, Salah satu mujtahid madzhab Asy-Syafi'iyah di dalam kitabnya Al-Majmu' Syarah Al-Muhadzdzab menuliskan sebagai berikut :
ﻗَﺎﻝَ ﺍﻟْﻤُﺼَﻨِّﻒُ ﺭَﺣِﻤَﻪُ ﺍﻟﻠَّﻪُ ﺗَﻌَﺎﻟَﻰ [ ﻭَﺃَﻣَّﺎ ﺭﻃﻮﺑﺔ ﻓﺮﺝ ﺍﻟﻤﺮﺃﺓ ﻓﺎﻟﻤﻨﺼﻮﺹ ﺃﻧﻬﺎ ﻧﺠﺴﺔ ﻻﻧﻬﺎ ﺭﻃﻮﺑﺔ ﻣﺘﻮﻟﺪﺓ ﻓﻲ ﻣﺤﻞ ﺍﻟﻨﺠﺎﺳﺔ ﻓﻜﺎﻧﺖ ﻧﺠﺴﺔ ﻭﻣﻦ ﺍﺻﺤﺎﺑﻨﺎ ﻣﻦ ﻗﺎﻝ ﻫﻲ ﻃﺎﻫﺮﺓ ﻛﺴﺎﺋﺮ ﺭﻃﻮﺑﺎﺕ ﺍﻟﺒﺪﻥ ] [ ﺍﻟﺸَّﺮْﺡُ ] ﺭُﻃُﻮﺑَﺔُ ﺍﻟْﻔَﺮْﺝِ ﻣَﺎﺀٌ ﺃَﺑْﻴَﺾُ ﻣُﺘَﺮَﺩِّﺩٌ ﺑَﻴْﻦَ ﺍﻟْﻤَﺬْﻱِ ﻭَﺍﻟْﻌَﺮَﻕِ ﻓَﻠِﻬَﺬَﺍ ﺍُﺧْﺘُﻠِﻒَ ﻓِﻴﻬَﺎ ﺛُﻢَّ ﺇﻥَّ ﺍﻟْﻤُﺼَﻨِّﻒَ ﺭَﺣِﻤَﻪُ ﺍﻟﻠَّﻪُ ﺭَﺟَّﺢَ ﻫُﻨَﺎ ﻭَﻓِﻲ ﺍﻟﺘَّﻨْﺒِﻴﻪِ ﺍﻟﻨَّﺠَﺎﺳَﺔَ ﻭَﺭَﺟَّﺤَﻪُ ﺃَﻳْﻀًﺎ ﺍﻟْﺒَﻨْﺪَﻧِﻴﺠِﻲ:ُّ ﻭَﻗَﺎﻝَ ﺍﻟْﺒَﻐَﻮِﻱّ ﻭَﺍﻟﺮَّﺍﻓِﻌِﻲُّ ﻭَﻏَﻴْﺮُﻫُﻤَﺎ ﺍﻟْﺄَﺻَﺢُّ ﺍﻟﻄَّﻬَﺎﺭَﺓُ ﻭَﻗَﺎﻝَ ﺻَﺎﺣِﺐُ ﺍﻟْﺤَﺎﻭِﻱ ﻓِﻲ ﺑَﺎﺏِ ﻣَﺎ ﻳُﻮﺟِﺐُ ﺍﻟْﻐُﺴْﻞَ ﻧَﺺَّ ﺍﻟﺸَّﺎﻓِﻌِﻲُّ ﺭَﺣِﻤَﻪُ ﺍﻟﻠَّﻪُ ﻓِﻲ ﺑَﻌْﺾِ ﻛُﺘُﺒِﻪِ ﻋَﻠَﻰ ﻃَﻬَﺎﺭَﺓِ ﺭُﻃُﻮﺑَﺔِ ﺍﻟْﻔَﺮْﺝِ ﻭَﺣُﻜِﻲَ ﺍﻟﺘَّﻨْﺠِﻴﺲُ ﻋَﻦْ ﺍﺑْﻦِ ﺳُﺮَﻳْﺞٍ ﻓَﺤَﺼَﻞَ ﻓِﻲ ﺍﻟْﻤَﺴْﺄَﻟَﺔِ ﻗَﻮْﻟَﺎﻥِ ﻣَﻨْﺼُﻮﺻَﺎﻥِ ﻟِﻠﺸَّﺎﻓِﻌِﻲِّ ﺃَﺣَﺪُﻫُﻤَﺎ ﻣَﺎ ﻧَﻘَﻠَﻪُ ﺍﻟْﻤُﺼَﻨِّﻒُ ﻭَﺍﻟْﺂﺧَﺮُ ﻧَﻘَﻠَﻪُ ﺻَﺎﺣِﺐُ ﺍﻟْﺤَﺎﻭِﻱ ﻭَﺍﻟْﺄَﺻَﺢُّ ﻃﻬﺎﺭﺗﻬﺎ .
Penulis Kitab Al-Muhadzdzab (As-Syairozi) mengatakan: Adapun cairan lembab yang keluar dari farji seorang wanita itu najis, sebagaimana tertulis secara eksplisit dalam nash, sebab cairan itu keluar dari tempat yang najis, maka ia hukumnya najis pula. Dan sebagian ulama yang ada dalam madzhab kami (As-Syafi'iyyah) ada yang mengatakan bahwa keputihan (ruthubah) hukumnya suci sebagaimana cairan yang keluar dari anggota tubuh yang lain.
Penjelasan Imam An-Nawawi : Ruthubah yang keluar dari farjinya wanita adalah cairan putih yang berwujud mirip antara Madzi dan Keringat. Maka dalam menghukumi kenajisannya, ulama berbeda pendapat. Akan tetapi penulis dalam kitab ini (as-Syairozi) dan juga dalam kitab At-Tanbih merajihkan bahwa ruthubah itu najis. Selain beliau Al-Bandaniji dari mazhab ini juga merajihkan hal yang sama.
Pendapat yang kedua adalah sebagaimana yang dikatakan oleh Al-Baghawi dan Ar-Rafi'i, yang benar menurut mereka adalah bahwa ruthubah itu suci. Al-Mawardi, penulis kitab Al-Haawi dalam bab Hal-hal yang mewajibkan mandi besar, mengatakan bahwa Imam Syafii menuliskan dalam sebagian kitabnya tentang sucinya cairan putih yang keluar dari farji.
Dalam suatu riwayat dari Ibnu Juraij, ia mengatakan bahwasanya dalam hal ini ada dua pendapat, yang pertama sebagaimana yang dikatakan penulis Al-Muhadzdzab (yakni najis) dan yang kedua sebagaimana dikatakan Al-Mawardi. Dan yang benar dalam madzhab kami adalah suci. [5]
An-Nawawi, Dalam kitabnya yang lain, yakni Raudhatu At-Thalibin wa Umdatu Al-Muftiyyin, menuliskan sebagai berikut :
ﻭَﻟَﻴْﺴَﺖْ ﺭُﻃُﻮﺑَﺔُ ﻓَﺮْﺝِ ﺍﻟْﻤَﺮْﺃَﺓِ، ﻭَﺍﻟْﻌَﻠَﻘَﺔُ، ﺑِﻨَﺠِﺲٍ ﻓِﻲ ﺍﻟْﺄَﺻَﺢِّ
Tidaklah najis cairan putih yang keluar dari farji perempuan dan juga 'alaqah (segumpal darah). Dan inilah pendapat yang benar dalam madzhab kami. [6]
Imam Zakaria Al-Anshari, Yang juga ulama mazhab Asy-syafi'iyah di dalam kitabnya Asnal Mathalib Syarah Raudhu Ath-Thalib menuliskan sebagai berikut.
ﻭَﻛَﺬَﺍ ﺭُﻃُﻮﺑَﺔُ ﻓَﺮْﺝِ ﺍﻟْﻤَﺮْﺃَﺓِ ﺑَﻞْ، ﻭَﻏَﻴْﺮِﻫَﺎ ﻣِﻦْ ﻛُﻞِّ ﺣَﻴَﻮَﺍﻥٍ ﻃَﺎﻫِﺮٍ ( ﻭَﺍﻟْﻌَﻠَﻘَﺔُ ) ، ﻭَﺍﻟْﻤُﻀْﻐَﺔُ ﻣِﻨْﻪُ ﻓَﺈِﻧَّﻬَﺎ ﻃَﺎﻫِﺮَﺓٌ
Cairan putih yang keluar dari farji perempuan, dan cairan dari selainnya (yakni dari hewan yang suci), dan juga 'alaqah (segumpal darah) dan mudghah (segumpal daging) itu hukumnya suci. [7]
Al-Khatib Asy-Syirbini, salah satu ulama madzhab Asy-Syafi'iyah di dalam kitab Mughni Al-Muhtaj menuliskan sebagai berikut:
ﺃَﻥَّ ﻣَﻨِﻲَّ ﺍﻟْﻤَﺮْﺃَﺓِ ﻧَﺠِﺲٌ ﺑِﻨَﺎﺀً ﻋَﻠَﻰ ﻧَﺠَﺎﺳَﺔِ ﺭُﻃُﻮﺑَﺔِ ﻓَﺮْﺟِﻬَﺎ
Sesungguhnya mani perempuan adalah najis, seperti najisnya ruthubah yang keluar dari farjinya. [8]
Dari pemaparan ulama dari madzhab As-Syafi'iah diatas, diketahui bahwa hukum ruthubah yang keluar dari farji seorang wanita itu masih diperselisihkan. Sebagian mengatakan bahwa itu najis, namun sebagian yang lain mengatakan tidak najis.
Namun, Imam An-Nawawi menjelaskan bahwa pendapat resmi yang sebenarnya dari madzhab ini, yakni Madzhab As-Syafi'iyyah, adalah bahwa cairan lembab yang keluar dari farji wanita adalah suci dan tidak najis, dan itulah yang dinyatakan oleh imam madzhab ini, yakni Al-Imam As-Syafi'i.
4. Madzhab Al-Hanabilah
Ibnu Qudamah, ulama masyhur dari kalangan mazhab Al-Hanabilah di dalam kitabnya Al-Mughni menuliskan sebagai berikut :
ﻭﻓﻲ ﺭﻃﻮﺑﺔ ﻓﺮﺝ ﺍﻟﻤﺮﺃﺓ ﺍﺣﺘﻤﺎﻻﻥ : ﺃﺣﺪﻫﻤﺎ، ﺃﻧﻪ ﻧﺠﺲ؛ ﻷﻧﻪ ﻓﻲ ﺍﻟﻔﺮﺝ ﻻ ﻳﺨﻠﻖ ﻣﻨﻪ ﺍﻟﻮﻟﺪ، ﺃﺷﺒﻪ ﺍﻟﻤﺬﻱ . ﻭﺍﻟﺜﺎﻧﻲ : ﻃﻬﺎﺭﺗﻪ؛ ﻷﻥ ﻋﺎﺋﺸﺔ ﻛﺎﻧﺖ ﺗﻔﺮﻙ ﺍﻟﻤﻨﻲ ﻣﻦ ﺛﻮﺏ ﺭﺳﻮﻝ ﺍﻟﻠﻪ - ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ - ﻭﻫﻮ ﻣﻦ ﺟﻤﺎﻉ، ﻓﺈﻧﻪ ﻣﺎ ﺍﺣﺘﻠﻢ ﻧﺒﻲ ﻗﻂ، ﻭﻫﻮ ﻳﻼﻗﻲ ﺭﻃﻮﺑﺔ ﺍﻟﻔﺮﺝ، ﻭﻷﻧﻨﺎ ﻟﻮ ﺣﻜﻤﻨﺎ ﺑﻨﺠﺎﺳﺔ ﻓﺮﺝ ﺍﻟﻤﺮﺃﺓ، ﻟﺤﻜﻤﻨﺎ ﺑﻨﺠﺎﺳﺔ ﻣﻨﻴﻬﺎ؛ ﻷﻧﻪ ﻳﺨﺮﺝ ﻣﻦ ﻓﺮﺟﻬﺎ، ﻓﻴﺘﻨﺠﺲ ﺑﺮﻃﻮﺑﺘﻪ .
Terdapat dua pendapat mengenai ruthubah yang keluar dari farji seorang wanita:
Pendapat pertama mengatakan najis. Karena ia keluar dari farji dan tidak tercipta anak darinya. Ia dihukumi seperti madzi. Dan pendapat yang kedua mengatakan hukumnya suci, seperti dalam hadits yang menyatakan bahwa Aisyah radhiyallahu ‘anha pernah mengerik mani dari pakaian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, yakni air mani dari bekas jima’. Karena tidak ada seorang Nabi pun yang pernah bermimpi basah. Hal itu tentu saja menyebabkan terkena cairan farji wanita. Jika kita hukumi bahwa farji wanita najis, tentu kita harus menghukumi kenajisan mani wanita. Karena, mani itu keluar dari farji juga, sehingga ia menjadi najis karena terkena cairan tersebut.
Ibnu Taimiyah, salah satu ulama mazhab Al-Hanabilah di dalam kitabnya Syarhu ‘umdatu Fiqhi menuliskan sebagai berikut:
ﻭَﺃَﻣَّﺎ ﺍﻟﺮُّﻃُﻮﺑَﺔُ ﺍﻟَّﺘِﻲ ﻓِﻲ ﻓَﺮْﺝِ ﺍﻟْﻤَﺮْﺃَﺓِ ﻓَﻄَﺎﻫِﺮٌ ﻓِﻲ ﺃَﻗْﻮَﻯ ﺍﻟﺮِّﻭَﺍﻳَﺘَﻴْﻦ ِ
Ruthubah yang keluar dari farji seorang wanita itu suci menurut riwayat pendapat yang paling kuat dari dua riwayat yang ada . [9]
● Kesimpulan
Para ulama berbeda pendapat mengenai hukum keputihan atau cairan lembab yang keluar dari farji seorang wanita (ruthubah). Madzhab Hanafi mengatakan bahwa hukum cairan tersebut itu suci, sedangkan Madzhab Maliki berpendapat bahwa cairan tersebut adalah najis.
Dua Madzhab selanjutnya, yakni As-Syafiiyah dan Al-Hanabilah, para ulama dari dua madzhab ini berbeda pendapat. Sebagian berpendapat bahwa cairan keputihan yang keluar dari farji seorang wanita itu suci, dan sebagian yang lain mengatakan najis atau tidak suci. Dan pendapat resmi yang paling kuat menyatakan bahwa 'ruthubah' itu suci dan tidak najis.
Wallahu a'lam.
_______________
Artikel :
KabarMakkahCom
Disalin dari Facebook Jehanara BalQies
---------------
[1] Abu Bakr Ibnu ‘ali Az-Zabidi Al-jauharah A-nirah ‘ala Mukhtasar Al-qaduri, jilid 1 hal 38.
[2] Ad-Dimyathi, As-syamil fi Fiqhi Imam Malik, jilid 1 hal 49.
[3] Al-Qarafi, Adz-Dzakhirah, jilid 1 hal 186.
[4] Al-Mazuri, Syarhu Talqin, jilid 1 hal 258.
[5] An-Nawawi, Al-Majmu' Syarah Al-Muhadzdab, jilid 2 hal 570.
[6] An-Nawawi, Raudhatu At-Thalibin wa Umdatu Al-Muftiyyin, jilid 1 hal 18.
[7] Zakaria Al-Anshari, Asnal Mathalib Syarh Raudhu At-Thalib, jilid 1 hal 13.
[8] Al-Khatib Asy-Syirbini, Mughni Al-Muhtaj , jilid 1 , hal 234.
[9] Ibnu Taimiyah, Syarhu ‘umdatu Fiqhi, jilid 1 hal 112.