KREDIT LEWAT PIHAK KETIGA (BANK)
Kredit Lewat Pihak Ketiga (Bank)
Apakah boleh kredit lewat piha ketiga atau dikenal dengan leasing? Biasa kita menemukan hal ini dalam jual beli kredit kendaraan atau rumah.
Suatu persoalan yang sering muncul di dunia bisnis adalah jual beli kredit melalui pihak ketiga. Kasusnya adalah semacam ini: Sebuah dealer menjual motor kepada Ahmad dengan cara kredit. Namun, Ahmad harus membayar cicilan kredit tersebut kepada sebuah bank.
Praktek jual beli seperti inilah yang banyak dipraktekkan di banyak dealer atau showroom. Juga dapat kita temui praktek yang serupa pada beberapa KPR dan toko elektronik. Sekarang, apakah jual beli semacam ini dibenarkan? Mari kita simak pembahasan berikut, semoga kita bisa mendapatkan jawabannya.
Yang Harus Dipahami Terlebih Dahulu
Di awal pembahasan kali ini, kita akan melihat terlebih dahulu praktek jual beli yang terlarang yaitu menjual barang yang belum selesai diserahterimakan atau masih berada di tempat penjual.
Contohnya adalah Rizki memberi beberapa kain dari sebuah pabrik tekstil. Sebelum barang tersebut sampai ke gudang Rizki atau selesai diserahterimakan, dia menjual barang tersebut kepada Ahmad. Jual beli semacam ini adalah jual beli terlarang karena barang tersebut belum selesai diserahterimakan atau belum sampai di tempat pembeli.
Larangan di atas memiliki dasar dari sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallamdalam hadits yang dibawakan oleh Bukhari dan Muslim. Bukhari membawakan hadits tersebut dalam Bab:
باب بيع الطعام قبل أن يقبض وبيع ما ليس عندك
“Menjual bahan makanan sebelum diserahterimakan dan menjual barang yang bukan miliknya.”
Sedangkan An Nawawi dalam Shahih Muslim membawakan judul Bab,
بُطْلاَنِ بَيْعِ الْمَبِيعِ قَبْلَ الْقَبْضِ
“Batalnya jual barang yang belum selesai diserahterimakan.”
Hadits yang menjelaskan hal tersebut adalah:
[Hadits Pertama]
Dari Ibnu ‘Abbas, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنِ ابْتَاعَ طَعَامًا فَلاَ يَبِعْهُ حَتَّى يَسْتَوْفِيَهُ
“Barangsiapa yang membeli bahan makanan, maka janganlah ia menjualnya kembali hingga ia selesai menerimanya.”
Ibnu ‘Abbas mengatakan,
وَأَحْسِبُ كُلَّ شَىْءٍ مِثْلَهُ
“Aku berpendapat bahwa segala sesuatu hukumnya sama dengan bahan makanan.” (HR. Bukhari dan Muslim)
[Hadits Kedua]
Dari Nafi’, dari ‘Abdullah bin ‘Umar, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallambersabda,
مَنِ اشْتَرَى طَعَامًا فَلاَ يَبِعْهُ حَتَّى يَسْتَوْفِيَهُ وَيَقْبِضَهُ
“Barangsiapa membeli bahan makanan, maka janganlah dia menjualnya hingga menyempurnakannya dan selesai menerimanya.” (HR. Muslim)
[Hadits Ketiga]
Ibnu ‘Umar mengatakan,
وَكُنَّا نَشْتَرِى الطَّعَامَ مِنَ الرُّكْبَانِ جِزَافًا فَنَهَانَا رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- أَنْ نَبِيعَهُ حَتَّى نَنْقُلَهُ مِنْ مَكَانِهِ.
“Kami biasa membeli bahan makanan dari orang yang berkendaraan tanpa diketahui ukurannya. Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang kami menjual barang tersebut sampai barang tersebut dipindahkan dari tempatnya.” (HR. Muslim)
Dalam riwayat lain, Ibnu ‘Umar juga mengatakan,
كُنَّا فِى زَمَانِ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- نَبْتَاعُ الطَّعَامَ فَيَبْعَثُ عَلَيْنَا مَنْ يَأْمُرُنَا بِانْتِقَالِهِ مِنَ الْمَكَانِ الَّذِى ابْتَعْنَاهُ فِيهِ إِلَى مَكَانٍ سِوَاهُ قَبْلَ أَنْ نَبِيعَهُ.
“Kami dahulu di zaman Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam membeli bahan makanan. Lalu seseorang diutus pada kami. Dia disuruh untuk memerintahkan kami agar memindahkan bahan makanan yang sudah dibeli tadi ke tempat yang lain, sebelum kami menjualnya kembali.” (HR. Muslim)
Dari hadits-hadits di atas menunjukkan beberapa hal:
Terlarangnya menjual barang yang belum selesai diserahterimakan.Larangan menjual barang yang belum selesai diserahterimakan ini berlaku bagi bahan makanan dan barang lainnya, sebagaimana dikatakan oleh Ibnu ‘Abbas di atas.Barang yang sudah dibeli harus berpindah tempat terlebih dahulu sebelum dijual kembali kepada pihak lain.
Imam Nawawi mengatakan,
“Dalam hadits-hadits di atas terdapat larangan untuk menjual barang hingga barang tersebut telah diterima oleh pembeli. Dan para ulama memang berselisih pendapat dalam masalah ini. Imam Asy Syafi’i mengatakan bahwa menjual kembali barang kepada pihak lain sebelum diterima oleh pembeli adalah jual beli yang tidak sah baik barang tersebut berupa makanan, aktiva tetap (seperti tanah), barang yang bisa berpindah tempat, dijual secara tunai ataupun yang lainnya.” (Syarh Muslim, 169-170)
Apa hikmah di balik larangan ini?
Hal ini diterangkan dalam hadits lain. Dari Thowus, Ibnu ‘Abbas mengatakan,
أن رسول الله صلى الله عليه و سلم نهى أن يبيع الرجل طعاما حتى يستوفيه . قلت لابن عباس كيف ذاك ؟ . قال ذاك دراهم بدراهم والطعام مرجأ
“Rasulullah shallahu ‘alaihi wa sallam melarang jual beli bahan makanan hingga barang tersebut telah diserahterimakan.”
Thowus mengatakan kepada Ibnu ‘Abbas, “Kenapa bisa demikian?”
Beliau pun mengatakan, “Sebenarnya yang terjadi adalah jual beli dirham dengan dirham, sedangkan bahan makanannya ditunda.” (HR. Bukhari) [Bukhari: 39-Kitabul Buyu’, 54-Bab Masalah Jual Beli Bahan Makanan dan Barang yang Ditimbun]
Hikmah lainnya adalah karena barang yang diserahterimakan kepada pembeli boleh jadi rusak. Hal ini disebabkan barang tersebut terbakar, rusak terkena air, atau mungkin karena sebab lainnya. Sehingga jika pembeli barang tersebut menjual kembali barang tadi kepada pihak lain, ia tidak dapat menyerahkannya.
Sekali Lagi Tentang Riba dalam Hutang Piutang (Riba Qordh)
Perlu diketahui bahwa yang namanya hutang-piutang adalah salah satu jenis akad yang di dalamnya terdapat unsur menolong dan mengulurkan tangan kepada orang yang membutuhkan bantuan. Sehingga akad hutang-piutang semacam ini tidak diperbolehkan sama sekali bagi siapa pun untuk mencari keuntungan. Keuntungan yang diperoleh dari hasil hutang piutang seperti ini disebut riba yakniriba qordh.
Contoh riba qordh: Ahmad berhutang pada Rizki sejumlah Rp.1.000.000,-. Kemudian Ahmad harus mengembalikan hutang tersebut dengan jumlah lebih yaitu Rp.1.200.000,- dalam jangka waktu satu bulan. Tambahan Rp.200.000,- inilah yang disebut riba.
Para ulama memberi kaedah yang sangat masyhur dalam ilmu fiqih:
كُلُّ قَرْضٍ جَرَّ نَفْعًا فَهُوَ رِبَا
“Setiap piutang yang mendatangkan keuntungan, maka itu adalah riba.” (Lihat Asy Syarh Al Mumthi’, 8/63)
Perlu diketahui bahwa perbuatan menarik riba adalah perbuatan yang diharamkan dan suatu bentuk kezholiman. Kezholiman meniadakan keadilan yang Allah dan Rasul-Nya perintahkan. Allah Ta’ala berfirman,
فَإِن لَّمْ تَفْعَلُواْ فَأْذَنُواْ بِحَرْبٍ مِّنَ اللّهِ وَرَسُولِهِ وَإِن تُبْتُمْ فَلَكُمْ رُؤُوسُ أَمْوَالِكُمْ لاَ تَظْلِمُونَ وَلاَ تُظْلَمُونَ
“Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba), maka ketahuilah, bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangimu. Dan jika kamu bertaubat (dari pengambilan riba), maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak menganiaya dan tidak (pula) dianiaya.” (QS. Al Baqarah: 279)
Bagaimana jika ada yang mengatakan bahwa orang yang berhutang itu ridho (rela) jika dikenakan bunga atau riba? Ada dua sanggahan mengenai hal ini:
Pertama, ini sebenarnya masih tetap dikatakan suatu kezholiman karena di dalamnya terdapat pengambilan harta tanpa melalui jalur yang dibenarkan. Jika seseorang yang berhutang telah masuk masa jatuh tempo pelunasan dan belum mampu melunasi hutangnya, maka seharusnya orang yang menghutangi memberikan tenggang waktu lagi tanpa harus ada tambahan karena adanya penundaan. Jika orang yang menghutangi mengambil tambahan tersebut, ini berarti dia mengambil sesuatu tanpa melalui jalur yang dibenarkan. Jika orang yang berhutang tetap ridho menyerahkan tambahan tersebut, maka ridho mereka pada sesuatu yang syari’at ini tidak ridhoi tidak dibenarkan. Jadi, ridho dari orang yang berhutang tidaklah teranggap sama sekali.
Kedua, pada hakikat senyatanya, hal ini bukanlah ridho, namun semi pemaksaan. Orang yang menghutangi (creditor) sebenarnya takut jika orang yang berhutang tidak ikut dalam mu’amalah riba semacam ini. Ini adalah ridho, namun senyatanya bukan ridho. (Lihat penjelasan Syaikh ‘Abdurrahman bin Nashir As Sa’di –rahimahullah– dalam Fiqh wa Fatawa Al Buyu’, 10)
Hati-hatilah dengan riba karena orang yang memakan riba (rentenir) dan orang yang memberinya (nasabah), keduanya sama-sama dilaknat.
Dari Jabir bin ‘Abdillah, beliau berkata,
لَعَنَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- آكِلَ الرِّبَا وَمُوكِلَهُ وَكَاتِبَهُ وَشَاهِدَيْهِ وَقَالَ هُمْ سَوَاءٌ
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallammelaknat pemakan riba (rentenir), orang yang menyerahkan riba (nasabah), pencatat riba (sekretaris) dan dua orang saksinya.” Beliau mengatakan, “Mereka semua itu sama.”(HR. Muslim) [Muslim: 23-Kitab Al Masaqoh, 19-Bab Laknat pada Orang yang Memakan Riba dan yang Menyerahkannya].
Maksud perkataan “mereka semua itu sama”, Syaikh Shafiyurraahman Al Mubarakfury mengatakan, “Yaitu sama dalam dosa atau sama dalam beramal dengan yang haram. Walaupun mungkin bisa berbeda dosa mereka atau masing-masing dari mereka dari yang lainnya.” (Minnatul Mun’im fi Syarhi Shohihil Muslim, 3/64)
Jadi bukan hanya rentenir saja yang mendapatkan laknat dan dosa, namun orang yang menyerahkan riba (yaitu nasabah) juga terlaknat berdasarkan hadits di atas. Nas-alullaha al ‘afwa wal ‘afiyah.
Perkreditan Melalui Pihak Ketiga
Setelah kita mengetahui dua pembahasan di atas, yakni masalah jual beli barang sebelum dipindahkan dan praktek riba dalam hutang-piutang, maka kita akan meninjau praktek perkreditan mobil, motor ataupun rumah yang saat ini terjadi. Gambarannya adalah sebagai berikut:
Sebuah dealer menjual motor kepada Ahmad dengan cara kredit. Namun, Ahmad harus membayar cicilan kredit tersebut ke bank atau PT. Perkreditan dan bukan dibayar ke dealer, tempat ia membeli barang tersebut.
Kalau kita mau bertanya, kenapa Ahmad harus membayar cicilan tersebut ke bank bukan ke dealer yang menjualkan motor padanya?
Jawabannya:
Bank ternyata telah mengadakan kesepakatan bisnis dengan dealer tersebut yang intinya: Bila ada pembeli yang membeli dengan cara kredit, maka pihak banklah yang akan membayar secara cashkepada dealer. Sedangkan pembeli diharuskan membayarkan cicilan kepada bank tadi. Dealer mendapatkan keuntungan karena dia mendapatkan uang cashlangsung. Sedangkan bank mendapatkan keuntungan karena dia menjual barang tersebut dengan harga lebih tinggi, namun dengan cara kredit. Seandainya pembeli itu ngotot untuk membayar kepada dealer, maka pihak dealer akan berkeberatan. Pihak dealer menganggap urusannya dengan pembeli telah selesai, sekarang tinggal urusan pembeli dengan bank.
Jika kita melihat, kejadian di atas memiliki dua penafsiran. Masing-masing penafsiran akan jelas menunjukkan kesalahan, yaitu terjatuh dalam riba atau dalam jual beli barang yang belum dipindahkan (diserahterimakan).
Penafsiran pertama:
Misalnya kita anggap kalau harga motor adalah Rp. 15.000.000,- secara cash. Sedangkan secara kredit adalah Rp. 18.000.000,-. Jadi, kemungkinan yang terjadi, bank telah menghutangi pembeli motor sejumlah Rp.15.000.000,- dan dalam waktu yang sama bank langsung membayarkannya ke dealer, tempat pembelian motor. Kemudian bank akhirnya menuntut pembeli ini untuk membayar piutang tersebut sejumlah Rp.18.000.000,-.. Bagaimana dengan akad semacam ini?
Ini adalah akad riba karena bank menghutangi Rp.15.000.000,-, kemudian minta untuk dikembalikan lebih banyak sejumlah Rp.18.000.000,-. Ini jelas-jelas adalah riba. Hukumnya sebagaimana disebutkan dalam hadits yang telah lewat, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallammelaknat pemakan riba (rentenir), orang yang menyerahkan riba (nasabah), pencatat riba (sekretaris) dan dua orang saksinya.” Beliau mengatakan, “Mereka semua itu sama.”(HR. Muslim)
Penafsiran kedua:
Bank telah membeli motor tersebut dari dealer dan menjualnya kembali kepada pembeli. Jika memang penafsirannya seperti ini, maka ini berarti bank telah menjual motor yang ia beli sebelum ia pindahkan dari tempat penjual (dealer) dan ini berarti bank telah menjual barang yang belum sah ia miliki atau belum ia terima. Di antara bukti hal ini adalah surat menyurat motor semuanya ditulis dengan nama pembeli dan bukan atas nama bank. Penafsiran kedua ini sama dengan penafsiran Ibnu ‘Abbas yang pernah kami sebutkan,
ذاك دراهم بدراهم والطعام مرجأ
“Sebenarnya yang terjadi adalah jual beli dirham dengan dirham, sedangkan bahan makanannya ditunda.” (HR. Bukhari)
Jadi, yang terjadi adalah jual beli rupiah dengan rupiah, sedangkan motornya ditunda. Dengan demikian penjualan dengan cara seperti ini tidak sah karena termasuk menjual barang yang belum selesai diserahterimakan.
Kesimpulan
Perkreditan dengan cara ini adalah salah satu bentuk akad jual beli yang haram, baik dengan penafsiran pertama atau pun kedua tadi. Wallahu a’lam.
Alangkah baiknya jika kita sebagai seorang muslim tidak melakukan praktek jual-beli semacam ini. Lebih baik kita membeli barang secara cash atau meminjam uang dari orang lain (yang lebih amanah, tanpa ada unsur riba) dan kita berusaha mengembalikan tepat waktu. Itu mungkin jalan keluar terbaik.
Saudaraku, cukup nasehat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berikut sebagai wejangan bagi kita semua.
إِنَّكَ لَنْ تَدَعَ شَيْئاً لِلَّهِ عَزَّ وَجَلَّ إِلاَّ بَدَّلَكَ اللَّهُ بِهِ مَا هُوَ خَيْرٌ لَكَ مِنْهُ
“Sesungguhnya jika engkau meninggalkan sesuatu karena Allah, niscaya Allah akan memberi ganti padamu dengan yang lebih baik bagimu.” (HR. Ahmad. Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan bahwa sanad hadits inishohih)
Semoga tulisan ini bermanfaat bagi pengusaha muslim sekalian. Semoga Allah selalu memberikan kita ketakwaan dan memberi kita taufik untuk menjauhkan diri dari yang haram.
Alhamdulillahilladzi bi ni’matihi tatimmush sholihaat. Wa shallallahu ‘ala Nabiyyina Muhammad wa ‘ala alihi wa shohbihi wa sallam.
****
Syahrul Hidayat
assalamualaikumwrwb
kl bgini gmna..
saya jualan barang secara kredit. nah pas ada pesanan sy langsung brthu pada pemesan kisaran angsuran per bulan nya berapa. baru saya cari barang tersebut di toko.. kmudian sya sendiri yang antarkan ke tempat pemesan. kadang bisa esok harinya. kadang langsung saya antarkan. dan di tempat itu terjadi akad jual beli yg sebenarnya. ..
apakah ini masuk transaksi batil atau tidak? kl batil. apakah ada solusi agar menjadi sah jual beli seperti ini..
terimakasih. .
Wa’alaikumussalam wa rahmatullah wa barakatuh
Wallahu a’lam, tdk ada masalah dg jual beli tsb selama tdk ada denda ketika telat.
Syahrul Hidayat
assalamualaikum
Kalau kasusnya begini bagaimana ustazd..
pemesan barang nya ikut belanja bersama pihak kreditor ke toko untuk memilih model. tapi setelah ada barang yang cocok. . yang membeli itu pihak kreditor ke toko . terus barang tersebut tidaklah dijual di tempat itu. kreditor mengantarkan barang tersebut ke tempat pemesan. terjadinya transaksi di tempat pemesan. .
bagaimana hukumnya jual beli seperti ini y??
terima kasih ustazd. .
Wa’alaikumussalam wa rahmatullah wa barakatuh
Hal itu dibolehkan selama pihak kreditur memiliki penuh barang tsb.
M. Ihsan Putra
Assalaamu’alaikum wr.wb.
Ustadz Abduh, saya ingin tanya sedikit.
Yg penulis lakukan adalah transaksi murabahah. Nah si pemesan sudah mengetahui harga cash barang tersebut (karena ikut bersama kreditor kepasar), sedangkan dalam praktek murabahah sebelum akad terjadi tidak boleh ada perjanjian yg mengikat (tidak boleh mensyaratkan pemesan HARUS membeli kepada si kreditor jika barang sudah ditangan kreditor), yg saya takutkan adalah nanti si pemesan protes, misalkan karena kita ambil keuntungan 30% (karena kita jual secara kredit), dia bilang terlalu tinggi dan lain hal.
Yg ingin saya tanyakan, apakah dalam akad murabahah si pembeli HARUS mengetahui keuntungan yg diambil oleh kreditor (persenannya) terhadap akad jual-beli murabahah ini? Apakah jika sebelumnya si pembeli tidak mengetahui keuntungan yg akan diambil kreditor sedangkan ia sudah mengetahui harga cashnya (karena beli barang bersama si kreditor) adalah cacat secara syari’at?
Pingback: Perjanjian yang Tidak Sah dalam Jual Beli | Rumaysho.Com | Mengenal Ajaran Islam Lebih Dekat()
Wa’alaikumussalam wa rahmatullah wa barakatuh. Silakan lihat bahasan berikut:https://rumaysho.com/muamalah/murabahah-yang-mengandung-riba-2201
2014-04-19 16:24 GMT+07:00 Disqus :
ahmad ardi
assalamu’alaikum
afwan ustadz mau tanya,
kalau misal pihak bank dan dealer sepakat menaikan harga motor kredit seharga 18jt, dengan akad dealer dan bank bagi hasil, apa itu juga tidak boleh?
Wa’alaikumussalam. Hakekatnya mengutangkan ke konsumen, tidak boleh.
chandra
Assalamualaikum
Kalau kasusnya begini bagaimana Ust. :
Saya meminjam uang kepada tetangga saya untuk membuat sumur bor yang hrgnya 2jt. Ia memberikan uang tunai kepada saya 2jt dengan perjanjian uang akan dikembalikan secara cicilan selama 10 bln dengan total pengembalian senilai 2.500.000 apakah termasuk riba?
Terimakasih. Ust.
Wa’alaikumussalam wa rahmatullah wa barakatuh
Itu riba.
ZUl
Assalamu’alaikum
Bagaimana dengan jualan ticket pesawat Ustadz?, ketika ada pembeli kita akan memberi tahu harga ticket yang ada di Maskapai, Penjual pasti akan menawarkan harga ticket yang belum di miliki oleh penjual..setelah ada kesepakatan baru di booking, apakah ini di perbolehkan secara syari’at??, terima kasih
Wa’alaikumussalam. Dibolehkan karena yg jual sbg wakil sama seperti orang yang jualan di toko memiliki pegawai.
supriyadi
ustad kalau jual beli on line bagaimana, misalkan saya sbg reseller produk dr sebuah Distributor (yg sdh membuat perjanjian dimana reseller akan mendapatkan discount pembelian produk), ketika ada pemesanan pembelian produk dari konsumen saya (dibayarkan lwt ATM), lalu barang tsb sy pesankan/beli lagi ke Distributor (bayar dg ATM) kpd distributor sy minta barang tsb agar dikirimkan langsung barangnya ke konsumen saya. (semua transaksi dilakukan hanya lwt media tlp/internet tanpa bertemu orang2nya)
Silakan baca di sini:https://rumaysho.com/muamalah/sistem-dropshipping-dan-solusinya-3035
2014-10-08 16:13 GMT+07:00 Disqus :
nazir
Kalau begini bgm ust:
Seorang makelar (perantara) berkata kepada calon pembeli (misalnya kendaraan) : “Harganya 25, kalau anda mau nanti saya carikan (ambilkan)”. Padahal Dia tahu bahwa Dia hanya perlu 23 untuk membeli barang tersebut. Dia mengambil uang 25 duluan dari calon pembeli untuk
membeli barang tsb.
Lalu bgm jg jk Dia membeli barang tsb dengan uangnya sendiri.
Sykrn.
Itu ttg masalah calo, perlu baca2 di sini:https://rumaysho.com/muamalah/hukum-komisi-bagi-broker-makelar-1671
Sent from my iPad Air
purwo endrianto
bagaimana dgn pembayaran rekening listrik, pdam atau telpon yg terlambat bayar terus di kenakan denda. apakah perusahaan negara itu melakukan riba…? bila riba apakah rakyat juga terkena laknat riba tersebut
Kaedahnya:
Denda bisa dinilai riba jika berkaitan dg utang piutang.
emillia
Ustadz, bagaimana dgn yg sdah trlanjur terlibat dlm akad utangpiutang yg berunsur riba ? sdngkan utk pelunasan secepatnya saat ini suliit sekali, krn pasar sepi…..
usaha yg djalankan fashion yg mana cm deket ramadhan saja pas rame”nya……
mohon saran solusinya, ustad
1- berusaha keras agar lepas dari riba
2- banyak doa
3- bertekad untuk lunasi krn siapa yang punya tekad spt itu, Allah akan mudahkan.
agus prasetya
ustad bagaimana cara mengatasi riba pada saat ini, karena
perekonomian indonesia hampir semua menggunkan sistem riba. contohnya
saya pengen beli sepeda motor dan rumah karena sepeda motor dan rumah
sangat penting sekali, dan saya tidak punya uang untuk membeli kontan
dan tidak ada yang mau meminjami selain kredit,. itu bagaimana ustad.
Silakan renungkan artikel berikut:https://rumaysho.com/muamalah/terbelit-utang-riba-ratusan-juta-bagaimana-cara-melunasinya-9681.
Wa’alaikumussalam wa rahmatullah wa barakatuh
Baca selengkapnya di sini:https://rumaysho.com/muamalah/hukum-kredit-rumah-kpr-3610.html